Senin, 24 Mei 2010

Untaian Hati


Seketika kegelapan datang dan hinggapi langitku, langit yang dulu cerah, gemerlap dipenuhi bintang gemintang. Apa dan kenapa ini terjadi pada diriku? Ya ALLAH kenapa sekarang senjanya hati membalut rembulan jiwaku. Sinar itu, bagaikan kehidupan yang selalu cerahkan surya jiwa. Ya Rabb, akankah sinar itu kembali cerahkan hari-hariku. Ku mendamba kasih sayangMu, hanya Engkau yang selalu membuat hamba mengerti bahwa hidup ini begitu berharga.


Biarkan cacian memujiku atas apa yang telah terjadi, biarkan semua begitu, biarkan saja aku lari ke lautan luas yang kugapai riak gelombangmu yang tanpa ada yang tahu dengan siapa dan bagaimana hatiku akan berlabuh dan ditambatkan. Perahu hati terombang ambing dilalui riak gelombangmu.


Kata-kata tercipta ketika sang ide muncul dari kepala dan disambut oleh hati. Hati yang kadang gelisah, suka, duka, menjadikan rangkaian yang indah dengan lantunan kata-kata yang indah itu. Indah mengalun merdu bagaikan melodi irama yang didengarkan piano hati. Terkadang sumbang, namun seketika langit datang mencerahkan udara hati yang menjadikan irama itu indah kembali…hmmm indahnya jika selalu begitu.


Kehadirannya bagaikan air yang mengalir membasahi gurun pasirku yang gersang...merubah menjadi sesuatu disana, tumbuh dan subur karena disirami air. Kadang air itu hilang tapi kemudian air itu kembali menjadikan lahan gersangku tumbuh lagi.


Semua telah kembali keperaduan hati masing-masing, akankah semua bisa kembali normal seperti sedia kala? Kenangan itu begitu membekas di hati. Biarkan sayap patahku terbang mencari sarang yang menjadi tempat yang terindah. Saat ini ataupun nanti, untuk selamanya, sampai ajal yang menjemput, sampai Sang Pencipta mengambil apa yang menjadi milikNya.


Sekarang, hanya ada kebisuan dan ketidakmengertian. Berharap pada yang fana memang akan begini. Semua berawal dari mana? aku tak tau, tapi ketika semua berakhir, aku tau itu. Senjanya hatiku membalut rembulan jiwaku. Sayap patahku yang dulu bisa pulih, kini kembali patah, terkoyak, hancur di jemari asaku. Biarkan semua pergi, biarkan aku pergi dengan duka dan sakit yang tak akan ada yang tau mengapa dan bagaimana aku akan kembali menjadi seseorang yang setegar karang itu.


Perlahan titik-titik mutiara berjatuhan di pipiku. Membasahi bumi hatiku. Yang dahulu gersang, kemudian tumbuh mekar ditaman hatiku. Tapi sekarang kembali gersang diterpa angin badai. Sang Cupid terus memanggil hatiku untuk kembali padanya. Berlayar terus dengan kapalnya mengarungi samudera kehidupan. Biarkan aku tetap berada di kapalmu, mengaruhi hari yang tak akan lama lagi. Aku hanya ingin memberikan setitik air kehidupan bagi orang yang telah buat ku kembali hidup. Pengabdian yang tiada akhir kah yang akan aku jalani? Semua akan terjawab bersama berlalunya sang waktu yang akan menjadi saksi semuanya.


Aku bagaikan burung yang terbang kian kemari mencari makan. Sarang jauh dari peradaban. Keadaan yang rapuh, lemah diterjang badai. ketidaksanggupanku hadapi keadaan ini. Ketertinggalan...kekecewaan...semua pergi tinggalkan aku dengan dukaku. hancur lebur disapa angin badai. Kenapa aku begini, kenapa tak mengerti, kenapa aku begitu? Sejuta pertanyaan terus mengalir, seperti air pegunungan yang jatuh tertimpa batu. Batu diam, air terus mengalir deras, seperti aku yang mengalirkan derasnya butiran-butiran mutiara di pipiku, terus dan entah kapan bisa ku hapuskan butiran itu.


Semua pergi jauh dariku, semua pergi ke arah yang berlawanan dengan ku. Aku di ujung hari, senjaku mengejarku, mendekapku, memaksaku mengatakan menerima semua kegundahan hati. Ku ingin sekali lagi lari ke lautan luasmu, ku gapai gelombang airmu, yang hempaskanku tinggalkan semuanya.